OPINI - Berdasarkan data yang dilansir INAPLAS atau Asosiasi Industri Plastik Indonesia serta Badan Pusat Statistik (BPS), sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton per tahun, 3, 2 juta ton di antaranya dibuang di laut. Adapun kantong plastik yang terbuang ke media lingkungan mencapai 10 miliar lembar/tahun atau 85.000 ton.
Isu limbah plastik turut menjadi sorotan saat pertemuan Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF) di Davos, Swiss, akhir Januari lalu. Indonesia yang ikut dalam forum tersebut, dicap sebagai salah satu wilayah pencemar limbah plastik terbesar di dunia. Indonesia menempati peringkat kedua setelah China dalam sumbangan sampah plastik, termasuk di laut.
Untuk mengurangi penggunaan kantong plastik, terhitung mulai 1 Maret 2019, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menerapkan kebijakan Kantong Plastik Tidak Gratis (KPTG) alias kantong plastik berbayar. Melalui kebijakan tersebut, kantong plastik dikenakan biaya minimal Rp 200. Namun demikian, kebijakan ini menuai pro dan kontra di masyarakat. Ketika itu, pemerintah bersama Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menggelar uji coba kantong plastik berbayar di berbagai daerah, terutama kota-kota besar. Dalam uji coba itu, konsumen diimbau membawa tas belanja sendiri. Bagi yang tidak membawa, bisa memilih membungkus belanjaannya dengan kardus bekas, membeli tas belanja ramah lingkungan di supermarket, atau tetap memilih kantong plastik biasa dengan membayar Rp 200/kantong. Hanya saja, langkah itu terhenti pada tahap uji coba. Di sisi lain, meski secara nasional belum ada, namun sejumlah daerah telah menerbitkan peraturan khusus atas hal ini.
Tercatat ada beberapa kabupaten/ kota yang sudah menjalankan kebijakan pengurangan penggunaan kantong plastik, yaitu Banjarmasin, Kabupaten Badung, Balikpapan, Bogor, dan Denpasar. Banjarmasin menjadi pelopor karena sudah memberlakukan kebijakan itu per 1 Juni 2016. Memasuki Juni 2018, Kota Balikpapan dan Kabupaten Badung mengikuti langkah Banjarmasin. Kemudian, disusul oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor dan Denpasar, masing-masing pada Desember 2018 serta Januari 2019 dan semoga kab/kota lainnya juga menyusul.
Baca juga:
Pledoi Pawang Hujan Mandalika
|
Pada tingkat provinsi, ada Pemerintah Provinsi Bali yang telah mengeluarkan peraturan khusus untuk membatasi penggunaan plastik. Peraturan Gubernur (Pergub) Bali Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai (PSP) telah terbit dan diterapkan sejak Januari 2019. Dalam Pergub ini ada tiga bahan yang terbuat dari atau mengandung bahan dasar plastik yang dilarang yaitu kantong plastik, polysterina (styrofoam), dan sedotan plastik. Hal ini patut diapresiasi dan bisa dijadilan contoh bagi daerah lainnya di Indonesia.
Kebijakan kantong plastik berbayar ternyata disikapi berbeda oleh Kementerian/Lembaga terkait dan pihak pemerintah daerah/kota. Sebagai contoh bahwa aturan kantong plastik berbayar oleh Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) tidak berlaku di Kota Bogor. Hal ini terjadi karena sebelumnya sudah ada Peraturan Wali Kota Bogor Nomor 61/2018 tentang Pelarangan Penggunaan Kantong Plastik di Pusat Perbelanjaan dan Toko Ritel. Jika mengikuti kebijakan dari Aprindo, maka hal itu tentunya suatu kemunduran. Di samping itu terkesan bahwa ini hanya kebijakan sepihak dari Aprindo tanpa dikomunikasikan dengan pemerintah dan dikonsultasikan dengan legislative yang notabene merupakan wakil rakyat. Mekanisme pengelolaan dana kantong plastik berbayar harus transaparan dan jelas penggunaannya.
Baca juga:
Ernest, Apa itu Dunguh?
|
Untuk mengurangi sampah plastik pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 75 tahun 2019 tentang Peta jalan Pengurangan Sampah Oleh Produsen. Permen ini merupakan salah satu implementasi Extended Producers Responsibility (EPR). EPR merupakan mekanisme atau kebijakan di mana produsen diminta untuk bertanggung jawab terhadap produk yang mereka buat atau jual (beserta kemasan yang bersangkutan) saat produk atau material tersebut menjadi sampah. Pengurangan timbulan sampah oleh produsen ini dilakukan melalui penggunaan bahan produk dari material yang mudah diurai, pendaur ulangan sampah, dan pemanfaatan kembali sampah yang wajib dilakukan. Selain itu, dalam rangka pendaur ulangan sampah, dan pemanfaatan kembali sampah harus diiringi dengan penarikan kembali sampah yang disertai dengan penyediaan fasilitas penampungan. Di samping penggunaan material yang tepat, produsen memiliki kewajiban untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, dan laporan dalam rangka pengurangan sampah yang dihasilkan oleh produsen. Produsen juga memiliki kewajiban untuk melakukan edukasi kepada konsumen agar turut berperan dalam pengurangan sampah. Dengan peraturan ini produsen diminta membuat peta jalan atau perencanaan untuk mendesain ulang kemasan dengan tidak menggunakan plastik sekali pakai.
Juga membuat perencanaan melakukan penarikan kembali kemasan yang digunakan. Alternatif lainnya adalah tetap menggunakan kantong belanja, tetapi yang mudah terurai ke lingkungan seperti yang berasal dari nabati.
Adapun yang harus dilakukan asosiasi ialah lebih progresif dengan menggunakan kantong plastik ber-SNI (Standar Nasional Indonesia) sesuai dengan rekomendasi Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yakni plastik yang mudah terurai lingkungan. Pemerintah, pelaku usaha, produsen, dan konsumen harus bersinergi dalam upaya mengurangi sampah plastik termasuk penggunaan kantong plastik.
Seharusnya masalah ini menjadi kebijakan dan gerakan nasional yang oleh pemerintah pusat, bukannya terfragmentasi secara sporadis di masing-masing daerah dan sektor terkait berjalan sendiri. Ini menunjukkan belum adanya keseriusan dalam penanganan sampah plastik.
Oleh: Syarifuddin Umar
(Analis Kebijakan Ahli Madya KLHK
Anggota Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia-AAKI)